Tiga Petani Sawit di Lamandau Dijerat Ancaman Pidana, APH Dinilai Abaikan Kearifan Lokal Kalteng

HomeHeadlineKalimantan Tengah

Tiga Petani Sawit di Lamandau Dijerat Ancaman Pidana, APH Dinilai Abaikan Kearifan Lokal Kalteng

PALANGKA RAYA - Masalah ancaman jeratan pidana yang dihadapkan kepada tiga petani sawit mandiri di Kabupaten Lamandau, Kalteng, dengan dalih dugaan pe

Kapolda Kalteng Tinjau Lokasi Banjir
Sebanyak 5.050 Siswa Dapat Bantuan Paket Data Internet
Pemkab Katingan Bersama Pemkab Melawi Teken MoU

PALANGKA RAYA – Masalah ancaman jeratan pidana yang dihadapkan kepada tiga petani sawit mandiri di Kabupaten Lamandau, Kalteng, dengan dalih dugaan penggarapan kawasan hutan juga menjadi perhatian Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng.

Ketua DAD Kalteng, Agustiar Sabran mengungkapkan, sejak ratusan tahun lalu, bahkan sebelum berdirinya negara Indonesia hingga kemerdekaan Indonesia, kondisi Kalteng merupakan hutan. Kebiasaan masyarakat Kalteng sudah sejak dulu mengolah alam seperti berladang dengan sistem berpindah dari satu tempat tempat lainnya. Hal ini dilakukan secara turun temurun sebagai kearifan lokal masyarakat di Kalimantan Tengah

Atas dasar inilah kata Agustiar, kearifan lokal masyarakat Kalteng harus dipertimbangkan oleh pemerintah. Tentunya kurang bijak apabila di suatu areal yang ditunjuk sebagai kawasan hutan seperti sekarang ini ada suatu aturan yang saat ini menimbulkan persoalan di masyarakat.

Kearifan lokal masyarakat di setiap daerah di Indonesia tidak sama, seperti di Kalteng sendiri masyarakat adat bisa memiliki lahan dengan luasan lebih dari 2 atau 5 hektar bahkan lebih. Hampir sebagian besar areal kegiatan masyarakat apabila disesuaikan dengan kondisi saat ini, secara umum berada di kawasan hutan

Hal ini disampaikan Agustiar saat menerima kunjungan dan pengaduan dari perwakilan Aliansi Masyarakat Dayak Bersatu Bela Petani Rakyat terkait proses pidana yang kini dihadapi tiga petani sawit mandiri di Kabupaten Lamandau, Kamis (11/1/2024). Ketiganya ditetapkan sebagai terdakwa karena dianggap menggarap kawasan hutan sebagai areal perkebunan sawit mandiri.

Wendy S Loentan perwakilan dari Aliansi Masyarakat Dayak Bersatu Bela Petani Rakyat mengaku sangat mengapreasi sikap Ketua DAD Kalteng, H Agustiar Sabran.

“Beliau (Agustiar Sabran, red) selalu Ketua DAD Kalteng telah menerima dan turut prihatin terhadap kasus yang menimpa tiga petani sawit di Lamandau” ungkap Wendy.

Terkait permasalahan kawasan hutan ini, Wendy berharap pihak Kementrian KLHK jangan hanya menunjuk di suatu daerah adalah kawasan hutan. Akan tetapi berikan kepastian hukum yang jelas dengan terlebih dahulu menyelesaikan proses Penetapan kawasan Hutan. Termasuk dalam menunjuk suatu wilayah tertentu sebagai kawasan hutan, diharapkan adanya penelitian dengan melibatkan tidak hanya instansi terkait, akan tetapi masyarakat melalui Tokoh Adat, Damang Kepala Adat, Lembaga Adat, partisipasi masyarakat untuk mengetahui karakteristik kawasan yg akan ditetapkan sebagai kawasan apakah mengandung aspek sosial budaya sebagaimana kearifan lokal di suatu daerah.

“Termasuk, apakah bernilai produktif areal tersebut menjadi kawasan hutan tetap, pertimbangan dan data di lapangan nantinya dapat dituangkan ke dalam berita acara kesepakatan yg nantinya di tandatangani bersama KLHK, Pemda dan Perwakilan Masyarakat. Dengan demikian pada saat kawasan tersebut ditetapkan menjadi Kawasan Hutan dan selanjutnya dibuat batasan, patok dan papan pengumuman Informasi kawasan di objek yang telah final sebagai kawasan. Juga harus dibuat galian parit sebagai batasan di areal yg telah digolongkan menjadi kawasan hutan tetap” harapnya.

Sementara itu, ancaman jeratan pidana yang dihadapkan bagi tiga petani sawit mandiri di Kabupaten Lamandau, Kateng, akibat dugaan menggarap kawasan hutan juga menuai keprihatinan dari pengurus Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng. Pihak aparat penegak hukum (APH) dianggap tidak menghargai kearifan lokal dalam memproses kasus tersebut.

Keprihatinan tersebut, disampaikan langsung oleh Ketua III DAD Kalteng, Mambang I Tubil, Jumat (12/1/2024). Ia menyesalkan jika ketiga petani sawit mandiri tersebut harus dikenakan jeratan pidana dengan dalih menggarap kawasan hutan. Hal ini, dikarenakan pada dasarnya masyarakat Kalteng sudah sejak dulu melakukan aktivitas berkebun dan berladang tanpa mengenal atau mengetahui kawasan hutan.

“Masyarakat belum tentu tau dimana saja yang masuk kawasan hutan. Jadi bukan sebagai alasan yang tepat jika masyarakat atau petani sawit mandiri ditetapkan sebagai tersangka dengan alasan tersebut. Mereka juga berhak menikmati hasil alam di Kalteng dengan mengelola lahan untuk menyambung hidup dan meningkatkan perekonomiannya” tegas Mambang.

Ia juga menambahkan, pihak APH dalam permasalahan ini seolah tidak menghargai kearifan lokal masyarakat Kalteng yang sejak dulu bergantung hidup dengan berkebun dan berladang. Seharusnya ada koordinasi antara pemerintah terkait kawasan hutan dan disosialisasikan kepada masyarakat. Jika kawasan tersebut tidak dapat dikelola lanjutnya, maka pemerintah harus menunjukan kawasan mana yang dapat dikelola oleh masyarakat.

“Masalah penggarapan kawasan hutan ini bukan kesalahan masyarakat, tapi kesalahan pemerintah. Seharusnya pemerintah yang aktif mensosialisasikan dan mencari solusi untuk masyarakat. Bukan justru masyarakat ditindak dengan dalih melanggar kawasan hutan hingga diancam jeratan pidana” tegasnya.

Mambang juga mengaku mendukung aksi masyarakat yang meminta agar proses hukum ketiga petani yang dijadikan terdakwa dibebaskan dari jeratan pidana. Pasalnya, ini juga menyangkut nasib masyarakat, khususnya petani lainnya yang juga bukan tidak mungkin menggarap kawasan hutan.

“Saya mendukung aksi damai masyarakat yang meminta agar para petani yang kini jadi terdakwa dibebaskan dari jeratan pidana. Karena ini juga menyangkut nasib ribuan masyarakat Kalteng” pungkasnya. (bud)

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS:
error: Content is protected !!